Bagian pertama dari dua tulisan. Untuk bagian pertama, silahkan baca : Farmakokinetika herbisida clomazone.
Clomazone adalah bahan aktif yang terdapat dalam herbisida sistemik yang biasa digunakan di banyak negara termasuk Indonesia. Bahan ini digunakan untuk pengendalian gulma daun dan rumput seperti (Echinochloa crus-galli), rumput kepiting (Digitaria spp.), Foxtails (Setaria spp), dll. (Van Scoy and Tjeerdema, 2013).
Clomazone (2 – [(2-klorofenil) metil] -4,4-dimetil-3-isokazolidinon) adalah isoxazolidinone kelompok herbisida, diformulasikan pada tahun 1980an untuk kontrol rumput tahunan dan gulma berdaun luas di Berbagai jenis tanaman, termasuk padi (Gunasekara et al., 2009 dalam M.Z. Fagundes et al., 2015).
Di tubuh tanaman target, clomazone memiliki tindakan sistemik dan diserap oleh akar, menghambat pembentukan pigmen fotosintesis dan menyebabkan kematian. Clomazone dapat diterapkan pada tanaman dengan melalui treatment pada tanah atau oleh udara (USEPA, 2007 dalam M.Z. Fagundes et al., 2015).
Karakteristik Clomazone
Untuk lebih mudah memahami ekokinetika dan farmakokinetika herbisida clomazone, perlu diketahui karakteristik fisik serta kimia bahan aktif ini.
Ekokinetika Clomazone
Setelah dilepas ke lingkungan, clomazone mengalami berbagai proses pada berbagai media tanah, air, udara maupun makhluk hidup. Adapun proses yang terjadi serta besarnya pengaruhnya tergantung dipengaruhi oleh sifat clomazone serta kondisi lingkungannya. Lihat gambar di bawah ini.
Tanah
Clomazone cenderung tidak berikatan kuat dengan tanah mengingat Kd yang relatif rendah dan sifat hidrofiliknya. Namun demikian, diamati juga terjadinya penyerapan pada tanah silty clay loam (lempung, tanah liat berlanau). (Mervosh et al., 1995 dalam Scoy and Teerdema, 2003). Sorpsi akan makin cepat jika ada material sisa pembakaran atau black carbon di dalam tanah. Clomazone memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk mengikat asam humat daripada tanah secara keseluruhan (Gunasekara et al., 2009 dalam Van Scoy and Tjeerdema, 2013).
Nilai Koc dari studi adsorpsi/desorpsi berkisar 152-526 mengindikasikan bahwa clomazone memiliki mobilitas yang rendah sampai sedang di dalam tanah. Di dalam tanah, clomazone juga terdegradasi secara aerobic. Sedangkan dalam kondisi anaerob, clomazone terdegradasi lebih cepat dengan average half life 60 hari (California DPR).
Biotransformasi clomazone diamati dengan memberikan clomazon pada sludge yang berasal dari instalasi pengolahan air limbah. Dalam pengujian tersebut ditemukan produk hasil biotransformasi (Helbling et al., 2010 dalam Scoy and Tjeerdema, 2013). Sementara uji biotransformasi oleh aspergillus niger dan Cunninghamella echinulata, menghasilkan 95% biotrasformasi oleh A.niger (Liu et al., 1996 dalam Scoy and Tjeerdema, 2013).
Persistensi clomazone diamati dengan mengaplikasikan 1,4 kg clomazone per hektar lahan. Clomazon ditemukan di kedalaman 1-10 cm 120 hari setelah aplikasi dengan konsentrasi 124 + 54 dan 30 + 12 (Mills et al., dalam Scoy and Tjeerdema, 2013).
Air
Berdasarkan kelarutannya yang tinggi dalam air (1100 mg/l), clomazone diperkirakan akan terkonsentrasi dalam fase cair. Ini merupakan potensi ancaman terhadap sistem penyediaan air minum. Dari pengukuran clomazone di vadose zone di kedalaman 0,3; 0,6; 1,5 menggunakan tension lysimeter ditemukan bahwa konsentrasi clomazone makin menurun seiring kedalaman. (Byers et al., dalam Scoy and Tjeerdema, 2013).
Dengan solubilitasnya yang tinggi, volatilitas yang terbatas, resistensinya terhadap hidrolisis, penyerapan yang lemah ke tanah, clomazone persisten di dalam air. Clomazone ditemukan di air pada 90 % titik sampel yang berdekatan dengan lahan pertanian dimana dibudidayakan tanaman tebu dan padi. Konsentrasinya berkisar antara 0,2-0,4 mg/L (Zanella et al., 2002 dalam Jia et al., 2013).
Hidrolisis dan fotodegradasi adalah dua faktor penting dalam degradasi pestisida di lingkungan (Mandal et al., 2011 dalam Jia et al., 2013). Di permukaan air, reaksi fotokimia memainkan peranan penting dalam degragasi clomazone. Fotodegradasi clomazone berlangsung melalui jalur: dehalogenasi, substitusi klorin dengan hidroksil, dan pemutusan rantai samping
Ketika terlarut dalam air, clomazone tidak segera terdegradasi dengan keberadaan sinar matahari. Waktu paruhnya mencapai lebih dari 30 hari. pengujian lapangan tentang disipasi clomazone menunjukkan, waktu paruh clomazone 5 hari dalam genangan air di lahan padi dan 38 hari pada sedimennya. Setelah 60 hari, residu clomazone pada air di sawah tersebut lebih kecil dari 0,2 ppb. Sedangkan pada sedimennya masih 39 ppb dalam waktu 89 hari (California PDR).
Clomazone tampaknya menunjukkan resistensi terhadap hidrolisis. Tidak teramati adanya hidrolisis dalam sebuah studi dimana clomazone diberikan pada larutan buffer dan air alami hingga waktu 90 hari dalam suhu (25 +2) oC, pH 4,5 + 0,1; pH 7,4 + 0,1 dan pH 9,0 + 0,1 maupun pada suhu (50 +2) oC, pH 4,5 + 0,1; pH 7,4 + 0,1 dan pH 9,0 + 0,1.
Baca juga : Bagaimana memanfaatkan air limbah domestik perkotaan sehingga dapat mengurangi tingkat pencemarannya
Udara
Volatilitas clomazone pada tanah lempung-lanau diuji dalam berbagai kondisi, yakini pada tanah lembab dan dalam simulasi kondisi hujan. Mervosh et al (1995)dalam (Van Scoy and Tjeerdema, 2013) menemukan bahwa ukuran butiran tanah yang lebih halus (20-30 mesh) menghasilkan volatilisasi yang lebih besar daripada volatilisasi yang dihasilkan pada tanah berukuran 14-20 mesh. Mereka juga menemukan bahwa kandungan air di dalam tanah juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap flux volatilisasi.
Pengamatan terhadap volatilisasi dilakukan dengan membandingkan dua cara aplikasi clomazone yakni dengan penerapan ke tanah dan permukaan. Aplikasi permukaan memberikan volatilisasi yang jauh lebih besar. Keberadaan hujan akan membuat volatilisasi makin besar (Van Scoy and Tjeerdema, 2013).
Potensi Memasuki Rantai Makanan
Untuk mengantisipasi masuknya clomazon ke dalam tanaman pangan yang berasal dari lahan yang ditreatment dengan herbisida ini, maka diatur interval minimal antara aplikasi dengan waktu panen, yaitu 120 hari untuk padi. Rotasi tanaman juga perlu dilakukan setidaknya setiap 9 bulan penanaman untuk tanaman jagung, sorgum, tomat, dll (California DPR, 2003).
Ikan adalah salah satu biota yang seringkali terpapar pada pestisida. Sejumlah pestisida dapat mengalami biomagnifikasi di dalam rantai makanan di sistem akuatik. Meski demikian, perilaku sejumlah pestisida belum diketahui. Sebuah studi dilakukan dengan memaparkan biota uji berupa ikan terhadap 13 jenis pestisida (azoxystrobin, clomazone, diflufenican, dimethachlor, carbendazim, iprodion, isoproturon, mesosulfuron-methyl, metazachlor, napropamid, quizalofop, and thifensulfuron-methyl) termasuk clomazone. Ini dilakukan mengingat, di alam seringkali terdapat pencampuran berbagai jenis pestisida. Studi ini dilakukan untuk mengetahui uptake oleh hewan uji serta eliminasinya di dalam jaringan otot.
Dua jenis ikan dipaparkan pada campuran 13 jenis pestisida tersebut per oral yakni melalui pallet yang dicampurkan dengan pestisida. Hasil studi ini adalah, tidak satupun dari pestisida tersebut yang menimbulkan biomagnifikasi (Lazartigues et al., 2013).