Arsip tulisan yang pernah dimuat di media massa cetak
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro mendeklarasikan HAS pada 22 Maret 1992. Deklarasi itu menjadi puncak perhatian bahwa masalah air sedunia sudah pada tingkat kritis. Dunia dilanda krisis air baik dari segi persediaan ataupun pengelolaan.
Data dari Water Supply & Sanitation Collaborative Council mengungkapkan bahwa 2,6 milyar manusia atau 40% penduduk dunia tidak memiliki akses yang layak atas sanitasi dasar. Kematian akibat diare per-tahun mencapai 1,8 juta jiwa.
Data di atas menyuratkan dengan tegas, masalah air harus diatasi dengan segera, komprehensif dan berkesinambungan. Baca juga: Cara mewujudkan desa berkesinambungan.
Fakta Terjadinya Krisis Air
UNICEF/WHO merilis data bahwa sekira 20 persen penduduk Bumi kesulitan mendapatkan air yang layak untuk diminum. Akibat kondisi ini, setiap tahun 4,5 ribu anak-anak meninggal dunia. Sebagian besar dari mereka adalah balita.
Jika tidak ditangani secara menyeluruh dan global, krisis air di atas akan bertambah parah pada tahun 2025, dimana 2/3 penduduk Bumi akan merasakan dampaknya, Dampak yang ditimbulkannya berupa gagal panen, dehidrasi, keracunan air, kelaparan, rusaknya sarana irigasi, kebakaran dan bermacam jenis penyakit yang berkaitan dengan pencernaan.
Tidak heran jika akibat krisis air di atas memunculkan konflik air, baik dalam skala lokal maupun skala antar negara. Perebutan sumber mata air menjadi konsekuensi ketika manusia dihadapkan pada pilihan kekurangan air yang berujung pada kematian atau tetap hidup.
Jika kita tengok di negara Indonesia sendiri, saat ini tengah terjadi fakta yang miris berkaitan dengan air. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup defisit air terjadi sejak 1995 sebesar 32,3 miliar m3/tahun di Jawa dan 1,5 miliar m3/tahun di Bali yang dipicu oleh degradasi hutan. Angka ini meningkat mencapai 134,1 miliar m3/tahun di Jawa dan 27,6 miliar m3/tahun di Bali.
Akibat kerusakan lingkungan dan penggundulan hutan besar – besaran, kita mendapatkan dampak buruknya. Terlihat ketika masuk musim kemarau, kekeringan melanda di mana – mana, mulai dari sungai, situ, sumber mata air bahkan waduk. Banyak sumur yang berkurang debit airnya. Tidak jarang, percecokan terjadi akibat kekurangan air ini.
Defisit air terjadi bukan hanya di Jawa dan Bali, tetapi juga di Sulawesi sebesar 42,5 miliar m3/ tahun dan Nusa Tenggara Timur sebesar 4,5 miliar m3/tahun. Di Jawa sendiri defisit air melonjak dari 32,3 miliar m3/ tahun menjadi 134,1 miliar m3/tahun.
Laporan dari berbagai lembaga resmi dunia seperti UNICEF dan WHO menegaskan bahwa krisis air di masa depan kian bertambah dan telah memberikan konsekuensi buruk bagi manusia, terutama yang tinggal di negara berkembang. Baca juga: Hidup dalam kemarau panjang di Afrika Selatan.
Akibat Defisit Air
Defisit air memberikan dampak buruk yang amat luas, bahkan berujung pada kematian. Arti penting air dapat dilihat bahwa 2/3 bagian Bumi adalah air, dan lebih dari 90% bagian tubuh manusia adalah air. Kekurangan air akan mengganggu proses metabolisme tubuh, sistem pencernaan dan mengentalkan darah.
Kekurangan air turut pula memicu pencemaran air yang mengakibatkan hadirnya berbagai jenis penyakit berkaitan dengan pencemaran seperti kolera, disentri, juga radang hati (hepatitis) dan kulit seperti kudik atau kudis.
Cara Atasi Defisit Air
Penanganan mengatasi defisit air didasarkan pada informasi akurat kondisi lapangan mencakup peta wilayah, rencana tata ruang dan perubahan iklim ke depan.
Dengan berlandaskan informasi yang akurat maka akan lebih mudah memilih tindakan sesuai dengan skala prioritas dan kondisi yang ada, baik pilihan teknologi yang digunakan, jenis sosialisasi dan jenis rehabilitasi kawasan yang rusak.