Kali Sampean, atau akrab pula disebut Sungai Sampean, mengalir dari hulunya di Kabupaten Bondowoso hingga ke hilir di Kabupaten Situbondo. Dalam bahasa Jawa, Sampean berarti “Anda”. Lepas dari peran strategisnya terutama bagi kehidupan di setidaknya dua kabupaten yang saya sebut di atas, Sampean, memiliki arti penting bagi saya. Bahkan sejak di masa lalu dan mungkin hingga masa depan.
Bagi saya, Kali Sampean adalah masa lalu yang manis.
Bagi saya ia juga masa kini.
Yang jelas,
bagi saya dan banyak orang lainnya
Sampean adalah MASA DEPAN!
Kali Sampean Adalah Masa Lalu …
Anak-anak kampung yang sedikit dekil itu bersorai. Kakinya berlumpur. Keceh … Berlarian di genangan lumpur sisa luapan sungai semalam. Sedangkan untuk bermain langsung di aliran sungainya sungguh mereka tak bernyali. Cerita-cerita tentang orang yang hanyut di sungai itu sungguh membuat mereka ngeri. Jadi, cukuplah genangan ini menjadi tempat mereka berpesta.
Salah satu dari anak kampung itu adalah saya. Usia sekitar tujuh atau delapan tahunan. Ketika itu kami tinggal di sekitar hilir Sungai Sampean. Genangan air sisa luapan air sungai semalam adalah rejeki buat kami. Anak-anak kampung yang haus hiburan.
Astaga, air itu yang mereka minum ?
Ada yang sering menarik perhatian saya ketika bersepeda menuju dan dari sekolah, sekitar 3 km jaraknya dari rumah. Dua buah pipa besar yang menyembul keluar dari balik tanggul Sungai Sampean yang terletak persis di seberang gedung besar dengan papan bertuliskan P-D-A-M.
Lalu kemudian saya mendapatkan informasi tentang pipa dan bangunan itu. Keduanya ternyata berhubungan. Pipa tersebut kelak saya kenal dengan sebutan water intake, tempat dimana air Sungai Sampean dialirkan menuju tempat pengolahannya. Lalu air inilah yang menjadi sumber air bersih dan air minum bagi sebagian masyarakat Situbondo.
Waktu itu saya berpikir, “ Astaga, bagaimana bisa mereka meminum air sungai yang kotor itu. Apa mereka tidak sakit karenanya ? ” Masa itu, yang saya tahu air minum ya, asalnya dari sumur.
Lalu kemudian saya pun mendapat penjelasannya. Bagaimana air yang tadinya coklat kotor diproses menjadi jernih dan layak dipakai. Tetapi pemahaman seorang anak kecil waktu itu, sebenarnya hanya di permukaan saja. Saya tak benar-benar memahaminya. Dalam hati saya masih bertanya, bagaimana bisa?
Belasan tahun kemudian, tanya seorang bocah kecil itu mendapatkan jawaban. Salah satunya adalah lewat prosedur praktikum bernama Jartest yang saya ikuti sewaktu menuntut ilmu di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Seperti ini penampakan jartest.
Jadi beberapa sampel air kotor diberikan tawas lalu diaduk dengan kecepatan berbeda. Dosis tawaspun dibuat bervariasi. Dari pengujian sederhana ini dapat dilihat dosis dan kecepatan mana yang optimal untuk menghasilkan kualitas air yang baik.
Bagaimana dengan penggunaan tawas? Amankah? Memang sejauh ini masih kontroversi. Ada juga yang berpendapat, penggunaan tawas dalam jangka panjang akan membahayakan kesehatan orang yang meminum airnya.
Baca juga : Menakar potensi air limbah terhadap timbulnya efek rumah kaca.
Sepenggal Kenangan Banjir Kali Sampean
Malam itu kami bersiap istirahat, kalau tidak salah waktu itu saya kelas dua SMP, mungkin sekitar tahun 1993. Tetiba suara tetangga ribut-ribut.
“air naik…air naik” .
Orang berondong-bondong menuju jembatan yang melintasi Sungai Sampeyan, tak sampai satu kilometer dari depan rumah. Mungkin mereka akan menonton peristiwa naiknya atau meluapnya Kali Sampean.
Banjir! Itu kesimpulan kami. Banjir pertama yang harus kami hadapi. Bapak bersiap menutup pintu depan dengan apapun yang sekiranya bisa memperlambat aliran air banjir masuk rumah. Terlambat, dan bahkan tanpa kami sadari, ternyata bagian belakang rumah telah terendam banjir. Panci, baskom dan segala alat dapur berenang-renang di air yang coklat kotor.
Semakin malam, air semakin tinggi. Selutut orang dewasa. Bahkan kami ketahui esoknya, di beberapa tempat banjir mencapai hampir ke atap rumah. Banyak yang kehilangan harta benda, rumah rusak, harta benda hanyut, dan lain sebagainya. Pasca banjir juga mewabahlah diare dan berbagai penyakit menular lainnya termasuk penyakit kulit. Duh… banjirr….
Hanya ada satu hal menjadi pertanyaan saya waktu itu. Kenapa Sampean bisa meluap? Kenapa banjir? Bukankah kami tak pernah membuang sampah sembarangan? Pertanyaan pelik bagi seorang ABG masa itu. Dan pertanyaan itu baru benar-benar terjawab, ya sekarang-sekarang ini. Saat saya terlibat lebih jauh dengan Kali Sampean.
Banjirpun selalu berulang beberapa tahun sekali. Bahkan yang termasuk parah terjadi tahun 2002, sebulan sebelum saya di wisuda. Banjir mampu menghayutkan banyak mobil sekalipun. Duhai…
Baca juga : Perusak sungai adalah kita.
Sampean Masa Kini
“Alat sudah dikalibrasi?”
“Form rekaman sampling?”
“Ice box?”
“mobil udah diisi bensin?”
“boots?”
“jas hujan?”
Itulah rentetan pertanyaan, persiapan sampling. Biasanya saya sempatkan mengecek sebelum berangkat. Dan biasanya pula, rekan yang saya tanyai, petugas honorer yang berdedikasi itu selalu menjawab “Ya!”
Oke, maka perjalanan samplingpun dimulai.
Semasa ditugasi memimpin sebuah Laboratorium pemerintah yang lingkup tugasnya adalah pengujian air, saya tetap merasa sesekali saya harus ikut langsung ke lapangan, salah satunya Sungai Sampean. Meski terkadang, medan yang dilalui tak selalu mudah, saya suka menjalaninya.
Selain mengetahui dengan mata kepala sendiri kondisi di lapangan, juga terus terang ada kegembiraan luar biasa saat melakukannya. Seolah-olah saya terlempar kembali ke masa lalu. Ah, memori tigapuluh tahun lalu, saat berpesta di genangan di bagian hilirnya.
Oh ya, mendengar langsung informasi dari masyarakat sangat berarti buat saya. “ Bu, kami gatal-gatal sehabis mandi di sini, dulu tak begini ”, begitu salah satu keluhan masyarakat yang aliran sungainya menjadi “korban” dengan terpaksa menampung air limbah sebuah pabrik.
Analis : bekerja dengan teliti, menyibak cerita di balik sebotol sampel air
Usai sampel diambil, kami membawanya ke laboratorium kami. Dua orang teman analis sudah siap untuk melakukan pengujian berbagai parameter terhadap air tersebut. Beberapa hari kemudian, biasanya hasil pengujian sampel sudah ada di meja saya.
Dan seringkali saya harus geleng-geleng kepala melihat beberapa parameter hasilnya berada melebihi baku mutu. Tidak, ini bukan hal yang baik. Kekeruhan yang tinggi, kadar bahan organik yang tinggi, Kandungan zat padat yang juga tinggi, dan seterusnya… dan seterusnya.
Lalu biasanya saya akan melaporkan pada atasan saya hasil pengujian tersebut disertai rekomendasi. Misalnya: perlu penataan di daerah hulu, sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukan MCK di sungai, bla…bla…bla….
Merangkai Kepingan Puzzle
Bagi saya, pengalaman berkenaan dengan kali Sampean seperti perjalanan mencari, mencocokkan, dan merangkai puzzle. Dan itu terjadi puluhan tahun, bahkan nyaris tigapuluh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk menghasilkan sebuah pemahaman yang (semoga) cukup memadai tentang sumber daya air. Dan ijinkan saya ceritakan itu pada Anda, ya.
Sungai Sampean, hulunya berada di wilayah tugas saya saat ini. sepanjang alirannya sebagian besar melewati daerah pertanian dan permukiman. Ini daerah agraris, bukan industri, namun bukan berarti Kali Sampean tidak mendapat “tekanan” dari sini.
Nyatanya, bukan hanya industri, lo, yang bisa mencemari sungai. Perilaku MCK di sungai, perilaku membuang sampah ke sungai dan bantaran sungai, pupuk serta pestisida dari area pertanian, itu semua adalah tekanan bagi sebuah sumber air. Dan kita turut berkontribusi di dalamnya.
Di area yang menjadi tanggung jawab saya, yang mencakup hulu hingga tengah Sungai Sampean, kualitas air sungai sampean sudah tak bisa dikatakan baik. Selalu saja ada beberapa parameter yang berada di atas baku mutu yang dipersyaratkan. Padahal, di bagian hilir air inilah yang menjadi salah satu sumber air baku yang mensuplai kebutuhan penduduk di sana. Dan perjalanan dari bagian tengah ke hilir juga masih cukup panjang dan potensi tekanan di sepanjang alirannya masih bisa dan sangat mungkin terjadi.
Nah itu baru masalah kualitas. Bagaimana dengan kuantitas? Pada musim hujan, Sungai ini masih selalu saja membuat was-was masyarakat terutama di hilirnya. Ancaman banjir seperti selalu berulang. Meski syukurlah tak terjadi setiap tahun.
Setiap tahun saat musim hujan sering Saudara di Situbondo (hilir), bertanya pada saya yang ada di daerah hulu. “Bondowoso hujan?” atau saya yang berinisiatif menginfokan, “Bondowoso hujan deras sudah beberapa jam, waspada ya”. Mengapa sampai seperti itu? Karena biasanya banjir terjadi ketika daerah hulu hujan deras berjam-jam.
Baca juga : Indeks kualitas lingkungan hidup.
Air yang sangat keruh “bercerita” seperti apa daerah hulunya …
Artinya? Ada yang harus dibenahi di daerah hulunya. Hutan yang gundul harus dikembalikan lagi seperti semula. Hamparan lahan pertanian yang berada di daerah berkemiringan mungkin perlu pula di tata. Lahan-lahan yang kosong ditanami tanaman keras, dan lain sebagainya.
Bagaimana Kita Turut Peduli ?
Permasalahan air adalah persoalan umum. Tak hanya sungai atau Kali Sampean yang mengalaminya. Hampir semua sumber air mengalami berbagai tekanan. Padahal, tak ada ceritanya kebutuhan air bakal menurun. Seiring pertambahan jumlah manusia dan gaya hidupnya, kebutuhan air akan meningkat terus.
Jadi, mari lakukan sesuatu untuk menjamin ketersediaan air yang memadai bagi semua. Tak hanya memadai dari sisi kuantitas atau jumlah, tetapi juga dari sisi kualitas. Tentu, ini untuk menjamin kesehatan serta keselamatan bagi semua.
Ada banyak hal sederhana dapat kita lakukan untuk turut menyelamatkan air. Setidaknya menghemat jumlah air yang kita konsumsi sekeluarga.
Bangun tidur Anda langsung gosok gigi? Jika Anda menggosok gigi di wastafel, biasakan mematikan kran saat Anda masih sedang menyikat gigi dan belum saat berkumur.
Byurrr…byurr…. Mandi pagi? Biasanya Anda menggunakan gayung? Jika mungkin beralihlah ke shower. Atau batasi air mandi hanya maksimal 10 gayung. Jangan sering mandi dengan bath-up, sesekali saja jika sedang benar-benar membutuhkannya.
Cuci piring, juga bisa hemat air. Caranya? Sabuni terlebih dahulu semua alat makan yang akan Anda cuci. Baru bilas di bawah kran mengalir.
Tampung air bilasan untuk dipakai ulang
Tampunglah sisa air cucian yang masih agak bersih dan tak terlalu berbusa. Nah, air ini bisa digunakan ulang sekedar untuk siram-siram halaman
Bagaimana dengan mencuci pakaian. Bisa juga diupayakan hemat air, kok. Gunakan mesin cuci sesuai kapasitasnya.
Hematlah dalam menggunakan kertas, selain menghabiskan kayu di hutan tropis, proses produksi kertas juga sangat rakus air. Gunakan kertas seperlunya, gunakan bagian dibalik kertas bekas print yang masih kosong. Upayakan jangan mencetak/print sebuah dokumen jika tak benar-benar perlu.
Hemat energi-hemat air. Hematlah energi, karena energi dan air saling berhubungan. Pembangkit energi membutuhkan sejumlah besar air, bukan?
Tanam pohon. Jika tak ada space di halaman kita, mungkin kita bisa ambil bagian dalam program-program adopsi pohon.
Buat sumur resapan dan biopori. Jika ada keleluasaan tempat dan biaya Anda bisa membuat sumur resapan di halaman rumah. Biopori juga sangat mudah untuk dibuat, asal masih ada space di halaman, walau tak seberapa.
Keduanya memperbesar inflitrasi, yakin banyaknya air yang bisa diresapkan ke tanah yang akan menjadi cadangan air tanah kita.
Jangan membuang sampah di sungai atau bantaran sungai.Sungai bukan tempat sampah raksasa. Lagi pula, perlu kita ingat bahwa dari sungailah sumber air sebagian saudara-saudara kita.
Baca juga : Bagaimana memanfaatkan air limbah domestik perkotaan.
Sungai bukan tempat sampah !
Mari belajar lebih bertanggungjawab dengan sampah dan apapun buangan yang berasal dari diri kita dan aktifitas kita
Nah, teman. itu tadi cerita saya menyusun kepingan-kepingan puzzle tentang Sungai Sampean. Mungkin di antara teman-teman ada yang memiliki kepingan-kepingan cerita, serupa keping-keping kenangan saya tentang Sungai Sampean? Yuk Share di sini.
Di atas adalah arsip tulisan lama dari Widyanti Yuliandari.